Berita Terbaru

Kepala KUA Penghulu KUA
Sumaila, S.Pd.I (Ka.) dan Fajruddin, S.Ag (Penghulu)
Subscribe

Subscribe

Subscribe

Subscribe

Subscribe

Subscribe

Permasalahan Wakaf dan Lembaga-lembaga Keagamaan

PERMASALAHAN WAKAF DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEAGAMAAN DI INDONESIA
(Mudzakarah Wakaf Uang Ulama Rifa’iyah)

Oleh : KH Mukhlisin Muzarie (Ketua Umum DPP Rifaiyah)



I.     PENDAHULUAN


Wakaf adalah suatu lembaga yang memiliki peranan penting dalam perkembangan masyarakat Islam baik dalam bidang keagamaan maupun pendidikan, ekonomi dan sosial. Lembaga ini jika dibandingkan dengan zakat, infak dan sedekah memiliki kekuatan ekonomi yang kokoh mengingat dana yang ditransfer untuk mendukung berbagai proyek keagamaan dan sosial adalah keuntungan atau manfaatnya sementara pada zakat, infak dan sedekah adalah assetnya sehingga bersifat konsumtif. Wakaf yang didefinisikan sebagai aset yang disumbangkan untuk kemanusiaan dalam jangka waktu yang relatif lama memiliki fungsi ritual (ubudiyah) dan sosial (kemasyarakatan).  Fungsi ritual wakaf adalah sebagai implementasi iman seseorang dalam bentuk kesadaran beramal saleh yang dapat diharapkan menjadi bekal hidup di akhirat yang mengalir pahalanya terus menerus (shadaqah jariyah) walaupun yang bersangkutan telah meningal dunia, sedangkan fungsi sosialnya sebagai bentuk solidaritas yang dapat diharapkan menjadi instrumen yang kontributif terhadap kesejahteraan masyarakat yang bekelanjutan (dana abadi).



Sejarah membuktikan bahwa wakaf telah berperan memfasilitasi berbagai kegiatan keagamaan dan sosial seperti pembangunan tempat ibadah, tempat persinggahan musafir, tempat penyebaran ilmu, sekolah, pembuatan karya tulis, pengadaan air bersih dan kebutuhan fakir miskin.  Pada masa Bani Umayah dan Bani Abasiyah peranan wakaf tidak terbatas pada pembangunan tempat-tempat ibadah dan pendidikan, tetapi menjangkau penyediaan biaya operasional majelis ilmu, biaya operasional perpustakaan, pendidikan, beasiswa, kesejahteraan guru dan dosen serta tenaga kependidikan lainnya.
Uraian di atas menunjukkan betapa besar peranan wakaf yang dapat disumbangkan untuk kepentingan masyarakat, baik dalam memfasilitasi kegiatan keagamaan dan sosial maupun kegiatan-kegiatan akademik. Namun di Indonesia faktanya lain, perwakafan saat ini menghadapi problem yang cukup rumit, karena umumnya merupakan wakaf non produktif  dan biaya operasionalnya terkesan membebani masyarakat. Kenyataan ini menggambarkan kondisi perwakafan yang apabila meminjam istilah Mundzir Qahaf, merupakan wakaf langsung, bukan wakaf produktif. Artinya wakaf yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, bukan wakaf yang disediakan untuk kepentingan produksi.
Adanya jumlah wakaf langsung yang lebih besar jika dibandingkan dengan wakaf produktif, perwakafan di Indonesia menghadapi problem yang serius, terutama terkait dengan biaya operasional yang harus dicari dari luar wakaf. Problem lain yang tidak kalah pentingnya adalah banyak lahan-lahan pertanian yang subur berubah menjadi lahan kering yang tidak produktif.  Para nadzir yang ingin berupaya untuk mengembangkan lahan tersebut menjadi usaha-usaha baru yang produktif seperti membuat tambak udang atau menukarnya dengan lahan yang strategis atau menjualnya ke pihak lain dan uangnya digunakan untuk modal usaha, tetapi menghadapi kesulitan berhubung dengan kepercayaan masyarakat bahwa wakaf tidak boleh dijual atau dihibahkan atau ditukar dengan yang lain.   Selain itu, perubahan wakaf secara konstitusional sangat sulit, karena harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Menteri Agama dan harus menempuh birokrasi yang panjang sehingga memakan waktu dua sampai tiga tahun.

Konsep wakaf sedemikian rigid perlu dikaji ulang (redefinisi), baik terkait dengan benda-benda yang boleh diwakafkan maupun dengan transaksi dan sasarannya. Pada masa silam pola hidup masyarakat umumnya agraris, perekonomian terutama di pedesaan didominasi oleh sektor-sektor pertanian, peternakan dan perkebunan  sehingga tidak aneh apabila di masyarakat ditemukan aset wakaf berupa tanah dan bangunan.  Berbeda dengan pola hidup masyarakat modern atau masyarakat industri, mereka umumnya tidak memliki lahan yang cukup untuk berwakaf, tetapi memiliki penghasilan rutin setiap bulan. Disamping itu, lahan-lahan pertanian di pinggiran kota sekarang telah berubah menjadi sentra-sentra industri dan pusat-pusat pemukiman.  Dengan demikian, ekselarasi wakaf melalui sektor pertanahan menjadi sangat sempit.

Persoalan lain yang terkait dengan implementasi hukum perwakafan adalah karena institusi wakaf di Indonesia belum dikelola dengan kerangka kerja profesional. Sebagai akibatnya, cukup banyak lembaga keagamaan dan yayasan pendidikan yang terlantar pengelolaannya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya pihak wakif hanya mewakafkan sebidang tanah kosong untuk pembangunan sarana peribadatan atau pendidikan tanpa memikirkan biaya pembangunan dan operasionalnya. Selanjutnya diserahkan kepada pengelola atau nadzir yang bekerja secara sambilan, bukan sebagai pekerja khusus yang diserahi tugas untuk mengelola institusi wakaf yang mendapat imbalan dari pekerjaannya itu.

Ada sebuah institusi wakaf yang berhasil dieksplorasi dari masyarakat dan dikelola secara modern serta diberdayakan melalui lembaga-lembaga ekonomi syari’ah sehingga berkembang pesat dan mampu membiayai proyek-proyek keagamaan serta menjadi salah satu instrumen kontributif terhadap kesejahteraan masyarakat, yaitu lembaga wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Badan wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor berhasil menghimpun dana (fund rising) tidak terbatas pada tanah dan bangunan (property) tetapi menerima wakaf uang (cash wakaf) yang berasal dari para aghniya dan wali santri, dan menerima wakaf jasa pelayanan, terutama dari alumni yang secara suka rela menyatakan kesediaannya untuk menabdi ke pondok Gontor.

Wakaf Gontor berawal dari wakaf para pendiri pondok (Trimurti)  yang mewakafkan harta milik mereka untuk kepentingan pendidikan dan dakwah Islamiyah. Pengelolaannya diserahkan kepada sebuah lembaga yang dibentuk khusus untuk itu yang diberi nama “Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor”.  Badan wakaf berupaya memberdayakan aset wakaf dengan membuka unit-unit usaha dan pusat-pusat perbelanjaan yang dikendalikan dengan sistem manajemen modern. Pondok Modern Darussalam Gontor sekarang telah memiliki modal usaha yang besar mencapai ratusan miliar rupiah dan memiliki unit-unit usaha yang banyak. Menurut laporan Abdullah Syukri Zarkasyi, unit-unit usaha milik pondok di bawah koordinasi Kopontren berjumlah 25 buah,  bahkan mencapai 50 buah apabila menghitung sub-sub unit yang tersebar di pondok-pondok cabang.  Diantaranya berupa pabrik penggilingan padi, pabrik es, pabrik air minum, percetakan, wartel, waserda, toko buku, toko bahan bangunan, apotek, jasa angkutan, penginapan, balai kesehatan dan beberapa kantin. Penghasilan dari unit-unit usaha ini, Pondok Modern Darussalam Gontor setiap tahun memperoleh keuntungan bersih lebih dari 6 milyar, dan pada tahun 2009 naik mencapai 15 milyar rupiah  yang digunakan untuk memfasilitasi pengembangan pondok, menggaji guru (ustadz), dosen, karyawan, beasiswa dan kegiatan-kegiatan akademik lainnya.


Untuk Lebih Jelas, klik disini untuk download

Sumber: tanbihun.com


No comments :

Leave a Reply