Pangan Halal bagi Umat Islam
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi—khususnya di bidang pangan—membuat proses menentukan kehalalan makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan tidak lagi secara sederhana. Teknologi pangan dan genetika saat ini telah mampu menjadikan segala apa yang ada di bumi sebagai bahan. Seekor hewan tidak hanya dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan, tetapi tulang, bulu, tanduk bahkan air liurnya dapat direkayasa menjadi bahan sebuah produk. Terlebih-lebih produk-produk yang berasal dari kawasan non muslim, meskipun secara lahir suci dan bersih, namun proses dikhawatirkan terdapat proses penyembelihan yang salah, atau media yang dipakai tidak suci atau haram. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian, pengkajian dan ijtihad kolektif kontemporer untuk menentukan status kehalalannya.
Dalam Islam, masalah halal dan haram merupakan hal yang penting dan merupakan inti keberagamaan dan fundament sosial. Karena memakan harta yang halal itu adalah baik, dan akan menghasilkan yang baik pula. Seseorang yang selalu membiasakan memakan harta yang halal akan bertambah spirit keberagamaan, spirit ikhlas bekerja, spirit dalam interaksi sosial, dan menggiatkan seluruh anggota badan untuk ibadah dan taat, menekan tendensi hati pada dunia serta menambah ingatan terhadap hari akhirat. Begitu pula sebaliknya, mengkonsumsi makanan yang haram baik dzat ataupun cara mendapatkannya berpengaruh terhadap sikap dan mentalitas keberagamaan, bahkan cenderung menurunkan karakteristik makanan atau daging hewan yang dikonsumsi.
Islam melarang penganutnya mengkonsumsi daging babi. Larangan ini tidak hanya disebabkan karena kandungan cacing pita yang terdapat pada daging babi, tetapi disebabkan karena babi merupakan hewan yang memiliki sifat malas, banyak tidur dan tidak memiliki rasa cemburu, dan karakter dan sifat ini akan turun kepada orang yang mengkonsumsi daging babi.
Suatu ketika Muhammad Abduh berkunjung ke Prancis, kemudian ia singgah ke sebuah restoran yang menu utamanya adalah daging babi. Setelah beliau masuk, lalu si pemilik restoran menghampirinya seraya berkata: Wahai orang Arab, saya mengatui bahwa agamamu mengharamkan daging babi karena mengandung bakteri, tetapi disini semua hewan babi bebas dari bakteri karena kandang dan makanannya amat terjaga dengan baik. Kemudian Muhammad Abduh berseru: “Kalau kamu ingin tahu alasan Islam mengharamkan daging babi, tolong ambilkan satu ekor babi betina dan satu pejantan, serta satu ekor ayam betina dan dua penjantan.” “Untuk apa?!” seru pemilik restoran. “Nanti kamu akan lihat sendiri?” ujar Muhammad Abduh. Setelah semuanya dihadirkan, Muhammad Abduh berseru, “Lepaslah satu ekor ayam betina dan dua pejantannya!”. Setelah dilepas, ternyata dua ekor ayam jantan saling berkelahi dengan hebat untuk memperebutkan si betina, sedangkan si betina terdiam melihat aksi kedua pejantan itu. Setelah salah satunya hampir mati, ketiga ekor ayam itupun diambil kembali. “Sekarang lepaslah satu ekor babi betina dan dua pejantannya” seru Muhammad Abduh. Setelah dilepas, ternyata kedua pejantan itu bersama-sama memperdaya si betina untuk di “gagahi”, bahkan keduanya saling membantu. Si pemilik restoran terheran-heran melihat pemandangan ini. Setelah itu, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa orang yang mengkonsumsi daging babi akan hilang rasa cemburu, sehingga ia tidak akan cemburu melihat isterinya bermesraan dengan laki-laki lain, bahkan ia dengan senang hati membantunya.
Itulah realita, bahwa makanan memiliki daya dorong yang kuat terhadap sikap dan mentalitas seseorang. Bahkan makananpun berpengaruh terhadap pengabulan doa yang dipohonkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Sa’ad bin Abi Waqqas RA, “Pilihlah makanan yang halal, niscaya doamu akan dikabulkan.”
Allah SWT berfiman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Mu’minun: 51)
Kata “kerjakanlah amal yang saleh” setelah perintah mengkonsumsi makanan yang baik mengindikasikan bahwa kualitas makanan berpengaruh langsung terhadap sikap dan perbuatan seseorang. Problematika umat saat ini adalah ketiadaan sikap refleks dalam merespon seruan agama, seperti menunda-nunda pelaksanaan shalat, ‘lari’ dari sumbangan sosial dan lain sebagainya. Sebaliknya, sikap refleks seringkali diterapkan dalam aktivitas yang minus manfaat bahkan kepada kemaksiatan. Faktor dominan semua itu adalah karena manusia tidak memperhatikan sumber makanan dan minuman yang dikonsumsi, sehingga berimplikasi terhadap hilangnya gairah beribadah, berkarya positif dan beretika baik.
Kalau kita tengok masa kejayaan umat Islam, munculnya para ilmuwan muslim, ulama fiqh yang karyanya masih dimanfaatkan oleh generasi sekarang tak lepas dari kehalalan makanan yang dikonsumsi. Imam Syafi’i contohnya, beliau rela berjalan menelurusi sungai bermil-mil jauhnya untuk mencari pemilik ladang apel agar mau mengikhlaskan satu lumatan buah apel yang telah dimakan tanpa idzinnya, dan akhirnya beliau rela bekerja diladang bertahun-tahun sebagai syarat mendapatkan keikhlasan. Tetapi kenyataan sekarang ini, manusia “berlomba-lomba” membuat kreasi dan siasat agar uang yang didapat terlihat halal meskipun tidak halal. Inilah yang menjadi salah satu faktor keterpurukan bangsa sampai fi darkil aspali minanaar (titik terparah) akibat tidak memperhatikan kehalalan makanan yang dikonsumsi. Demikian pula umat ini kehilangan ruh jihad dan ruh kesadaran beragama karena masuknya makanan haram yang telah mendarah-daging. Dalam kitab Taurat disebutkan, “Barangsiapa yang tidak menghiraukan dari mana sumber makanannya, niscaya Allah tidak akan menghiraukan pula pintu mana ia akan dimasukkan ke dalam neraka.” Dalam hadits, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima melainkan yang baik.”
Ada orang yang beranggapan, bahwa hasil korupsi atau hasil curian dapat disucikan dengan sedekah atau membagi-bagikan kepada faqir miskin, maka ketahuilah bahwa kebaikan itu tidak bisa menghapus dosa keburukan itu. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Sufyan At Tsauri, “Perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya yang haram dalam ketaatan kepada Allah, laksana orang menyucikan baju yang bernajis dengan air kencing. Tentulah perbuatan ini tidak akan menyucikan baju itu, malah menambahkan najisnya lagi”. Sehingga orang yang memakan dari yang haram dan yang syubhat meskipun pada lahirnya ia telah berbuat ketaatan, maka semua ketaatannya itu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa.”
Oleh karena itu, janganlah kita bermimpi bangsa ini akan keluar dari jerat krisis multi dimensi jika para pejabat masih “pintar” berkreasi. Janganlah kita bermimpi bahwa korupsi, kolusi, penipuan, pencurian bisa hengkang dari negeri ini selama para pejabat masih ‘donyan’ uang rakyat. Jangan harap ruhul jihad umat Islam bangkit kembali selama makanan haram masih bersemayam di dalam tubuh. Sudah halalkah makanan kita, sudah baikkah cara kita mendapatkannya?.
* Staff Subdit Penyuluhan Agama Islam dan Penulis buku “MAYORITAS WANITA MASUK NERAKA” tahun 2009.
Dalam Islam, masalah halal dan haram merupakan hal yang penting dan merupakan inti keberagamaan dan fundament sosial. Karena memakan harta yang halal itu adalah baik, dan akan menghasilkan yang baik pula. Seseorang yang selalu membiasakan memakan harta yang halal akan bertambah spirit keberagamaan, spirit ikhlas bekerja, spirit dalam interaksi sosial, dan menggiatkan seluruh anggota badan untuk ibadah dan taat, menekan tendensi hati pada dunia serta menambah ingatan terhadap hari akhirat. Begitu pula sebaliknya, mengkonsumsi makanan yang haram baik dzat ataupun cara mendapatkannya berpengaruh terhadap sikap dan mentalitas keberagamaan, bahkan cenderung menurunkan karakteristik makanan atau daging hewan yang dikonsumsi.
Islam melarang penganutnya mengkonsumsi daging babi. Larangan ini tidak hanya disebabkan karena kandungan cacing pita yang terdapat pada daging babi, tetapi disebabkan karena babi merupakan hewan yang memiliki sifat malas, banyak tidur dan tidak memiliki rasa cemburu, dan karakter dan sifat ini akan turun kepada orang yang mengkonsumsi daging babi.
Suatu ketika Muhammad Abduh berkunjung ke Prancis, kemudian ia singgah ke sebuah restoran yang menu utamanya adalah daging babi. Setelah beliau masuk, lalu si pemilik restoran menghampirinya seraya berkata: Wahai orang Arab, saya mengatui bahwa agamamu mengharamkan daging babi karena mengandung bakteri, tetapi disini semua hewan babi bebas dari bakteri karena kandang dan makanannya amat terjaga dengan baik. Kemudian Muhammad Abduh berseru: “Kalau kamu ingin tahu alasan Islam mengharamkan daging babi, tolong ambilkan satu ekor babi betina dan satu pejantan, serta satu ekor ayam betina dan dua penjantan.” “Untuk apa?!” seru pemilik restoran. “Nanti kamu akan lihat sendiri?” ujar Muhammad Abduh. Setelah semuanya dihadirkan, Muhammad Abduh berseru, “Lepaslah satu ekor ayam betina dan dua pejantannya!”. Setelah dilepas, ternyata dua ekor ayam jantan saling berkelahi dengan hebat untuk memperebutkan si betina, sedangkan si betina terdiam melihat aksi kedua pejantan itu. Setelah salah satunya hampir mati, ketiga ekor ayam itupun diambil kembali. “Sekarang lepaslah satu ekor babi betina dan dua pejantannya” seru Muhammad Abduh. Setelah dilepas, ternyata kedua pejantan itu bersama-sama memperdaya si betina untuk di “gagahi”, bahkan keduanya saling membantu. Si pemilik restoran terheran-heran melihat pemandangan ini. Setelah itu, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa orang yang mengkonsumsi daging babi akan hilang rasa cemburu, sehingga ia tidak akan cemburu melihat isterinya bermesraan dengan laki-laki lain, bahkan ia dengan senang hati membantunya.
Itulah realita, bahwa makanan memiliki daya dorong yang kuat terhadap sikap dan mentalitas seseorang. Bahkan makananpun berpengaruh terhadap pengabulan doa yang dipohonkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Sa’ad bin Abi Waqqas RA, “Pilihlah makanan yang halal, niscaya doamu akan dikabulkan.”
Allah SWT berfiman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Mu’minun: 51)
Kata “kerjakanlah amal yang saleh” setelah perintah mengkonsumsi makanan yang baik mengindikasikan bahwa kualitas makanan berpengaruh langsung terhadap sikap dan perbuatan seseorang. Problematika umat saat ini adalah ketiadaan sikap refleks dalam merespon seruan agama, seperti menunda-nunda pelaksanaan shalat, ‘lari’ dari sumbangan sosial dan lain sebagainya. Sebaliknya, sikap refleks seringkali diterapkan dalam aktivitas yang minus manfaat bahkan kepada kemaksiatan. Faktor dominan semua itu adalah karena manusia tidak memperhatikan sumber makanan dan minuman yang dikonsumsi, sehingga berimplikasi terhadap hilangnya gairah beribadah, berkarya positif dan beretika baik.
Kalau kita tengok masa kejayaan umat Islam, munculnya para ilmuwan muslim, ulama fiqh yang karyanya masih dimanfaatkan oleh generasi sekarang tak lepas dari kehalalan makanan yang dikonsumsi. Imam Syafi’i contohnya, beliau rela berjalan menelurusi sungai bermil-mil jauhnya untuk mencari pemilik ladang apel agar mau mengikhlaskan satu lumatan buah apel yang telah dimakan tanpa idzinnya, dan akhirnya beliau rela bekerja diladang bertahun-tahun sebagai syarat mendapatkan keikhlasan. Tetapi kenyataan sekarang ini, manusia “berlomba-lomba” membuat kreasi dan siasat agar uang yang didapat terlihat halal meskipun tidak halal. Inilah yang menjadi salah satu faktor keterpurukan bangsa sampai fi darkil aspali minanaar (titik terparah) akibat tidak memperhatikan kehalalan makanan yang dikonsumsi. Demikian pula umat ini kehilangan ruh jihad dan ruh kesadaran beragama karena masuknya makanan haram yang telah mendarah-daging. Dalam kitab Taurat disebutkan, “Barangsiapa yang tidak menghiraukan dari mana sumber makanannya, niscaya Allah tidak akan menghiraukan pula pintu mana ia akan dimasukkan ke dalam neraka.” Dalam hadits, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima melainkan yang baik.”
Ada orang yang beranggapan, bahwa hasil korupsi atau hasil curian dapat disucikan dengan sedekah atau membagi-bagikan kepada faqir miskin, maka ketahuilah bahwa kebaikan itu tidak bisa menghapus dosa keburukan itu. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Sufyan At Tsauri, “Perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya yang haram dalam ketaatan kepada Allah, laksana orang menyucikan baju yang bernajis dengan air kencing. Tentulah perbuatan ini tidak akan menyucikan baju itu, malah menambahkan najisnya lagi”. Sehingga orang yang memakan dari yang haram dan yang syubhat meskipun pada lahirnya ia telah berbuat ketaatan, maka semua ketaatannya itu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa.”
Oleh karena itu, janganlah kita bermimpi bangsa ini akan keluar dari jerat krisis multi dimensi jika para pejabat masih “pintar” berkreasi. Janganlah kita bermimpi bahwa korupsi, kolusi, penipuan, pencurian bisa hengkang dari negeri ini selama para pejabat masih ‘donyan’ uang rakyat. Jangan harap ruhul jihad umat Islam bangkit kembali selama makanan haram masih bersemayam di dalam tubuh. Sudah halalkah makanan kita, sudah baikkah cara kita mendapatkannya?.
* Staff Subdit Penyuluhan Agama Islam dan Penulis buku “MAYORITAS WANITA MASUK NERAKA” tahun 2009.
No comments :