Pelayanan Badan Penasehat pembinaan Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Menurut hukum perdata perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Sedangkan menurut hukum islam perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalididzan, untuk menaati perintah Allh dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuan perkawinan berdasarkan
penjelasan Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal (mendapatkan keturunan) bedasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Menikah atau melangsungkan suatu
perkawinan merupakan fitrah manusia yang tidak dapat dihilangkan, tetapi harus
dilaksanakan pada jalan yang benar agar tidak menyimpang dari aturan yang pada
aKompilasi Hukum Islamnya menimbulkan malapetaka bagi kelangsungan hidup
manusia. Manusia membutuhkan pelengkap hidup berupa perkawinan, laki-laki
membutuhkan seorang perempuan sebagai pasangannya, dan perempuan membutuhkan
seorang laki-laki sebagai pelindungnya, yang demikian ini merupakan hukum alam. Tuhan telah menciptakan segala mahluk yang ada dimuka bumi ini dengan
berpasang-pasangan. Manusia diciptakan untuk berjodoh-jodohan, agar generasi
yang akan datang di muka bumi ini bisa menyambung dan meneruskan cita-cita
generasi sebelumnya yang tidak selamanya hidup didunia, karena usia mereka yang
terbatas. Apabila ia tidak menurunkan generasi berikutnya, maka tidak ada lagi
generasi penyambung perjuangan, dunia akan mati dalam kurun waktu yang relatif
singkat.
Budaya perkawinan dan aturannya yang
berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa, tidak terlepas dari
pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan.
Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia, bukan saja dipengaruhi adat
budaya masyarakat setempat tetapi juga dipengaruhi ajaran agama, bahkan juga
dipengaruhi budaya barat. Jadi, walaupun Bangsa Indonesia kini telah memiliki
hukum positif sebagai landasan dasar melakukan suatu perkawinan, yaitu
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada
kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku
ketentuan adat dan upacara-upacara adat dalam melangsungkan perkawinan yang
berbeda-beda, antara satu lingkungan masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Sebagai contoh masyarakat Minangkabau dengan suatu tata tertib perkawinan yang
bersendikan keibuan, masyarakat Batak yang tata tertib perkawinannya
bersendikan kebapaan, dan masyarakat Jawa yang tata tertib perkawinannya
bersendikan kebapak-ibuan, yang di dalamnya tata tertib perkawinan tersebut
menggunakan suatu upacara adat perkawinan yang berbeda antara satu dengan
lainnya, selain itu juga menurut kepercayaan agama masing-masing.
Suatu cita-cita setiap orang untuk
melaksanakan perkawinan dan menginginkan perkawinan itu berlangsung selama
akhir hayat, karena perkawinan dalam Islam bertujuan yaitu :
1.
Supaya umat manusia itu hidup dalam masyarakat yang
teratur dan tentram, baik lahir maupun batin.
2.
Supaya kehidupan dalam suatu rumah tangga teratur dan
tertib menuju kerukunan anak-anak yang shaleh, yang berjasa dan berguna kepada
kedua orang tua, agama, masyarakat, bangsa dan negara.
3.
Supaya terjalin hubungan yang harmonis antara suami
istri, seterusnya hubungan famili, sehingga akan terbentuk ukhuwah yang
mendalam yang diridhoi Allah swt.
Bertolak dari rumusan tersebut bahwa
Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dengan
anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum
pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia, artinya dengan ukuran
pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita. Dalam prakteknya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap
aturan-aturan yang sudah ditentukan, seperti terjadinya perkawinan di bawah
umur, kawin siri, kawin kontrak, hal ini berdampak terhadap perlindungan
hak-hak dari keturunan hasil pernikahan tersebut.
Perintah Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan pernikahan dan melarang membujang
terus-menerus juga sangat beralasan. Hal ini karena libido seksualitas
merupakan fitrah kemanusian dan juga makhluk hidup lainnya yang melekat dalam
diri setiap makhluk hidup yang suatu saat akan mendesak penyalurannya. Bagi
manusia penyaluran itu hanya ada satu jalan, yaitu perkawinan. Yang paling
hangat dibicarakan baru-baru ini terjadi perkawinan di bawah umur yang
dilakukan oleh Syekh Fuji terhadap Ulfa gadis di bawah umur. Tidak sedikit yang
melaksanakan kawin di bawah tangan. Meski menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat, perkawinan di bawah tangan hingga kini masih banyak dilakukan.
Bahkan sebenarnya tidak sedikit perempuan yang mengetahui “ruginya” jika
melaksanakan nikah di bawah tangan atau kawin siri, namun tetap saja banyak yang
mau melakukannya dengan berbagai alasan. Dengar saja keluhan Ny. Ranti (bukan
nama sebenarnya). “Saat ini saya sudah menikah di bawah tangan sebagai istri
kedua. Hal ini sudah berlangsung sekitar satu tahun. Kami sangat ingin membuat
surat nikah di KUA, namun memerlukan surat izin dari istri pertama suami. Tapi
sangat sulit untuk memperolehnya, “keluh Ranti. Demikian pula pernikahan yang
terjadi antara Lutfiana Ulfa (gadis dibawah umur) dengan Syekh Fuji yang
terus mendapat sorotan masyarakat dan pemerintah. Terkait perkawinan dini yang
dilakukan Pujiono Cahyo Wicaksono alias Syeh Puji terhadap Lutfiana Ulfah,
gadis bersuia 12 tahun di Bedono Semarang, membuat berang Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan menilai Syeh Pujiono terindikasi
mengidap penyakit pedopilia. Akibat perbuatanya tersebut, menurut Meutia,
Pujiono bisa dijerat dengan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Tenaga
Kerja dan Undang Undang Perlindungan anak.
Pernikahan yang mengundang polemik
di masyarakat tersebut, juga mengundang perhatian Ketua Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi, yang terus berupaya membujuk Syekh Puji
untuk mengembalikan Ulfah ke pangkuan orang tuanya, karena menurut Seto, Ulfah
masih di bawah umur sangat membutuhkan perhatian serius dari orang tua. Bahkan
KPAI berharap agar pernikahan siri ini dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut di atas peran dari Pelayanan Badan
Penasehat
pembinaan Pembinaan
Pelestarian Perkawinan (BP4) sangat diperlukan, dan bagaimana kiprahnya dalam
menangani kasus-kasus seperti tersebut di atas.
Peranan BP4 Dalam Upaya Penyelesaian
Perselisihan Perkawinan
Peraturan Mentri Agama No. 3 Tahun 1975
Pasal 28 ayat (3) menyebutkan bahwa “Pengadilan Agama dalam berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehat
Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) agar menasehati kedua suami istri
tersebut untuk hidup makmur lagi dalam rumah tangga”. Setiap tahun ada dua juta perkawinan, tetapi yang
memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang
menikah, 10 pasangannya bercerai, dan umumnya mereka yang baru berumah tangga.
Islam dengan tegas
menyatakan dalam Al-Quran bahwa perceraian itu adalah suatu perbuatan yang
halal, tetapi paling dibenci Allah. Tapi, faltanya, perceraian itu menjadi
fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia. Dalam Al-Quran 80 persen ayat membicarakan
tentang penguatan bangunan rumah tangga, hanya sebagian kecil yang membicarakan
masalah penguatan negara, bangsa apalagi masyarakat, sebab keluarga adalah
sendi dasar terciptanya masyarakat yang ideal, mana mungkin negara dibangun di
atas bangunan keluarga yang berantakan.
Kesimpulan
Dari pendahuluan dan beberapa kasus tersebut
peran BP4 belum optimal dan
tindak lanjut dari penyelesaian kasus
belum dapat diselesaikan secara baik.
Disarankan kepada pasangan yang berselisih untuk lebih memahami ilmu agama,
ilmu munakahat, membina kembali keutuhan rumah tangga dengan saling mengerti
dan memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan. Kepada BP4
disarankan untuk lebih meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.
Kepada Kepala Kantor Departemen Agama agar membina dan mengawasi kinerja BP4
agar lebih optimal dalam menjalankan tugas pokoknya dalam menyelesaikan
perselisihan perkawinan.
Sumber: intanghina
No comments :